Fikih Utang Piutang (Bag. 2)
Ketika membahas suatu akad dalam muamalah, kita tentunya tidak bisa lepas dari ketentuan hukumnya. Sebelum lebih dalam mengetahui utang piutang secara detail, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang hukum dari utang piutang itu sendiri.
Hukum utang piutang
Pembahasan tentang hukum utang piutang dapat dibagi menjadi dua pembahasan utama; secara hukum taklifi dan secara hukum wadh’i.
Pertama, secara hukum taklifi
Maksudnya adalah utang piutang dilihat dari hukum taklifi, yaitu hukum yang mengandung pembebanan kepada seorang mukallaf. Seperti hukum wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.
Dalam hal ini, hukum taklifi terkait masalah utang piutang terbagi menjadi dua sisi:
Sisi pemberi utang
Jika dilihat dari sisi pemberi utang, maka hukum asalnya adalah sunah. Artinya, memberi utang kepada orang yang membutuhkan adalah termasuk amalan yang dianjurkan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Tidaklah seorang Muslim memberi pinjaman kepada Muslim lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama.” (HR. Ibnu Majah)
Pahala yang dijanjikan ketika membantu orang yang kesulitan dari segi finansial tentunya sangat besar. Karenanya, memberikan utang kepada orang yang membutuhkan termasuk amalan saleh dan termasuk dari amalan sunah. Siapa di antara kita yang tidak mau dimudahkan urusannya di dunia dan di akhirat?
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ
“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Seringkali sifat bakhil (pelit) menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama muslim. Kekayaan yang berada di tangannya seolah-olah hanya miliknya dan tidak boleh sedikitpun digunakan oleh orang lain, bahkan saudara atau keluarga yang notabene masih satu aliran darah.
Ketika saudaranya datang meminjam uang dikarenakan kebutuhan yang sangat, finansial yang sedang kacau, dan sangat membutuhkan -sampai-sampai saudaranya tersebut rela untuk merendahkan diri di hadapannya agar bisa diberikan pinjaman yang nominalnya tidak seberapa baginya- alih-alih diberikan diberikan pinjaman, yang ada justru ia mengelabui saudaranya dengan berbagai macam alasan. Yang intinya adalah dia tidak mau meminjamkan.
Tidakkah engkau ingin dibalas oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan di atas? Tidakkah engkau ingin senantiasa ditolong oleh Allah dikarenakan menolong saudaramu? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
Jika engkau memiliki kekayaan dan Allah memberikan kelebihan atas hartamu, maka menjadi suatu keharusan untukmu membantu saudaramu yang membutuhkan dengan meminjamkan uang untuknya. Tentu hal ini lebih baik, dibanding ia meminta-minta kepada orang lain.
Kembali soal hukum taklifi, sejatinya utang piutang dapat berubah hukumnya dari sisi pemberi utang sesuai dengan kondisi yang ada. Adakalanya bisa menjadi wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.
Bisa menjadi wajib jika untuk menyelamatkan nyawa, seperti untuk pengobatan yang membutuhkan biaya yang mahal; untuk membeli makanan bagi orang yang kelaparan; atau ketika tidak ada pilihan lain. Seperti seseorang yang diancam untuk menyerahkan suatu harta; kalau tidak, maka akan dibunuh, dan lain sebagainya. Artinya, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara meminjamkannya.
Dalam kasus di atas, meminjamkan uang menjadi suatu kewajiban. Tentunya, kewajiban ini bagi pemilik harta yang lebih. Sehingga kategori yang mewajibkan seseorang untuk meminjamkan adalah seseorang yang jika ia pinjamkan hartanya kepada orang lain, maka tidak akan membuat si pemberi pinjaman atau keluarganya tersebut kekurangan harta atau jatuh ke dalam kesulitan yang sama atau bahkan lebih parah.
Begitu pula bisa menjadi sesuatu yang makruh bahkan haram, jika meminjamkannya menimbulkan suatu ke-mudhorot-an yang lebih besar. Seperti meminjamkan untuk hal-hal yang haram, meminum khamr, bermain judi, berzina, dan lain sebagainya. Atau jika pemberi utang mengetahui kalau si peminjam tidak akan melunasi utang-utangnya, kabur, dan lain sebagainya. Ketika itu, hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram untuk meminjamkannya.
Sisi pengutang
Jika dilihat dari sisi pengutang, maka hukum asalnya adalah mubah jika ia merasa mampu untuk membayarnya dengan perkiraan ia punya sekian harta ke depannya yang bisa diharapkan untuk membayar dan ia bertekad untuk membayar. Jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan untuk meminjam selama tidak darurat.
Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu pernah bercerita,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ
“Pernah didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang yang sudah meninggal dunia (jenazah) yang meninggalkan utang. Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayar utangnya?” Jika diceritakan bahwa jenazah tersebut meninggalkan sesuatu untuk melunasi utangnya, maka beliau mensalatinya. Jika tidak, maka beliau berkata kepada kaum Muslimin, “Salatilah saudara kalian ini!”
Ketika Allah telah membukakan kemenangan kepada beliau di berbagai negeri, beliau bersabda, “Aku lebih utama menjamin untuk orang-orang beriman dibandingkan diri mereka sendiri. Maka siapa saja yang meninggal dunia dari kalangan kaum Mukminin, lalu meninggalkan utang, akulah yang wajib membayarnya. Dan siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadis ini menunjukkan pelajaran dari beliau shallallahu ‘alahi wa sallam agar tidak bermudah-mudah dalam berutang.
Kedua, secara hukum wadh’i
Hukum wadh’i dari masalah utang piutang adalah sah hukumnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika tidak terpenuhi, maka tidak sah hukumnya.
Demikian yang berkaitan dengan hukum utang piutang. Semoga bermanfaat Wallahu a’lam.
[Bersambung]
***
Depok, 26 Muharam 1447/ 21 Juli 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud.
Shahih Fiqh Sunnah (jilid 5), karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Al-Mukhtashor fil Mu’amalat, karya Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musayqih.
Artikel asli: https://muslim.or.id/107871-fikih-utang-piutang-bag-2.html